Dalam rangka peringatan Hari Kartini, hari ini kantor gue menyelenggarakan ceramah singkat, yang satu diantara pengisinya adalah Kak Seto, tokoh pendidik anak.
Seperti biasa Kak Seto memberikan materi berupa mendidik anak dengan kasih sayang. Isinya sangat menyentuh, bagi gue pribadi (dan ternyata banyak juga orang kantor yang merasa demikian). Sangat kena ke gue. Intinya jangan marah2in anak, karena anak memang senang bermain, untuk mendidiknya sebisa mungkin tidak pake kekerasan. Membentak pun juga dianggap kekerasan terhadap anak, apalagi pake pukul2an, cubit, sampai kasus2 terbaru ada ibu yg tega menyeterika anaknya, membekap bayinya sampai meninggal, dll.
Beberapa hal yang diberikan sudah gue laksanakan antara lain mendidik dengan kasih sayang. Sebisa mungkin gue nggak pernah ngomel2in Luna (walau kalo ngadepin dia untuk nyuapin rasanya susaaaah... banget, harus ekstra sabar biar mau makan, jadinya harus dipegangin sambil dinyanyi2in biar makanan masuk mulut). Gue nggak pernah memukul, mencubit, pokoknya nggak pake kekerasan fisik. Gue juga berusaha sebisa mungkin nggak membentak2 atau berteriak kalo Luna berbuat kesalahan. Secapek apapun gue pulang kerja/kuliah, gue berusaha menebarkan senyum kepada anakku yang lama menanti2 mamanya pulang ke rumah, karena waktu berangkat dia masih tidur.
Kayaknya jarang banget gue teriak ke Luna, kecuali kalo gue melihat dia melakukan aktivitas membahayakan baru gue teriak "JANGAN!", yang kemudian langsung dia memeluk/megangin kaki gue, matanya merah, mulai ngambek sambil bilang "mamau!" Biasanya kemudian gue akan memeluk Luna, sambil jelasin kenapa tadi gue teriak ke dia, gue ajak main biar dia lupa sama marahnya.
Apa yang bikin gue sampai nangis tadi? Yaitu bahwa kebahagiaan perkawinan orang tua juga mempengaruhi pola asuh orang tua yang cenderung melakukan kekerasan. Terus terang saja dengan cobaan2 yang gue alami sekarang, seringkali gue merasa hidup gue gamang nggak punya pegangan. Di situ rasanya sedih banget, gue mau cerita, cerita ke siapa? Papa sedang nggak bisa diajak berbagi saat2 ini. Sedih banget krn gue belum bisa memberikan situasi yang kondusif bagi Luna untuk tumbuh kembangnya. Sebahagia2nya dia tentu akan lebih baik lagi kalo ada kedua ortunya. Nyatanya sampai sekarang belum ada kesepakatan yang baik untuk pemecahan persoalan ini.
Luna emang masih kecil, jadi sekarang mungkin belum terlalu berpengaruh. Sedikit banyak ini hasil gue bekerja keras menjaga perasaan gue supaya tidak terlalu lebay di hadapan dia, selalu bergembira dan nggak bete di hadapannya. Dan kekuatan Luna mempengaruhi gue supaya terus merasa bahagia karena kehadirannya, karena dia adalah cahaya bagi hidup kami (gue).
Karena udah kebiasa jarang2 ketemu Papa, kalo ada papanya dia jadi kolokan banget, cengeng, manja (trus difasilitasi sama papanya juga ampe gue mangkel krn pola keteraturan yg gue terapkan pada Luna jadi berantakan lagi). Kalo nggak ada, seolah dia biasa aja. Tapi kalo nggak ada gue (mamanya) dia bakal rewel dan ngamuk, misalnya waktu gue pulang agak malem, dia rewel krn ngantuk sedangkan gue blm ada. Luna selalu bobo sama gue, kecuali gue sakit atau keluar kota. Jadi dari dia bayi merah gue gak pernah jauh2 dari dia.
Kalo Papa mungkin emang bisa jauh2 dari anak (dengan alasan begini: buat apa suami istri bersama tapi nggak direstui orang tua/leluhur, walaupun saling mencintai. Gue masih simpen isi email itu!). Jadi kesimpulannya gue kawin sama dia nggak direstui orang tua/leluhur - yang jelas bukan leluhur gue pasti (padahal dulu gue dilamar oleh orang tuanya lengkap dan diterima dengan baik oleh ortu gue, gue kawin secara adat sudah melalui tahapan2 seharusnya sesuai adat, sudah upacara pamitan, mebiakaon, mekalah2an sampai disahkan oleh pedanda). Kok sekarang bilangnya nggak direstui, setelah ada anak.
Sekarang bisa dibilang gue hdup dalam status quo. Yah, gue berusaha tabah2 aja menjalani, sampai2 teman2 gue pada heran dg kehidupan gue sekarang kok bisa2nya gue ngerasa biasa2 aja, masih bisa ketawa2, seolah2 kayak gak ada masalah apa2. Nah masalahnya, kalo gue terus2an terkungkung kesedihan, akan mempengaruhi jiwa dan psikis anak. Itu yg gue nggak mau. Walaupun sedikit banyak hal ini mempengaruhi Luna juga, pasti.
Beberapa kelambatan Luna dalam mencapai hal tertentu, gue yakin, secara gak langsung diakibatkan oleh ini. Makanya tadi gue nangis, bener2 nangis, mendengar ceramah Kak Seto, krn gue merasa belum bisa memberikan situasi yang terbaik buat Luna untuk tumbuh kembang secara maksimal. Kok setelah ada Luna.
Gue akan sabar, tentu, sampai pada saat gue melihat Luna sudah cukup besar dan mandiri, mungkin kalo sudah masuk SD, untuk bisa gue tinggal bersama pengasuh saja, bukan dititip ke nyokap gue lagi, yang artinya gue sudah tinggal terpisah di rumah sendiri. Sementara gue akan terus berjuang membuktikan semuanya, tanpa rasa dendam apapun.
Aku capek dan bosan dengan keadaan begini terus. Ingin rasanya segera menyelesaikan kuliah supaya bisa menabung untuk beli mobil (dulu), untuk operasionalku dan Luna. Benar2 operasional kami. Jadi nggak perlu pinjam kesana-kesana kalau perlu pakai kendaraan.
Sudah ditawarkan oleh bapakku untuk menggunakan mobilnya kalau ke sana, tapi aku nggak mau. Lebih baik punya sendiri, biar butut dan kuno, yang penting hasil keringat sendiri. Nggak tergantung kamu yang sering pinjam2 mobil kakak, yang membuat aku merasa utang budi. Saudara sih saudara, tapi tetep aja namanya pinjam kan. Nggak independen. Jadi aku bisa lebih tegas bersikap, kamu itu lebih senang menemani anak atau mengantar keponakan??
Aku nggak ada masalah apa2 sama kakak2 kamu. Tapi jujur aja aku nggak senang kalau kamu sering dimintai tolong mereka, sedangkan kamu sendiri jarang bersama kami. Bukannya mengingatkanmu untuk lebih perhatian sama keluarganya (kami), malah mereka tergantung sama kamu untuk banyak keperluan yang bikin kamu seolah gak bisa kemana2. Boro2 menemani kami.
Padahal kami ini keluargamu, walaupun aku pendatang baru dalam hidupmu, tapi kamilah penyokong hidupmu kelak. Apa kamu kira saudara2mu akan terus2an bersamamu setiap saat kalau kamu sakit dll. Nggak kan. Karena mereka udah punya keluarga sendiri dan urusannya masing2.
Di masa mendatang orang tua kita juga pasti akan berangkat duluan, jadi kamilah tumpuanmu kalau mengalami kesulitan. Karena kita adalah keluarga intimu, yang kamu bentuk sendiri. Orang tua dan saudaramu, juga dari pihakku sudah menjadi keluarga besar. Dan, suka tidak suka, mau tidak mau, kamu harus prioritaskan kehidupanmu untuk kami dan begitu pula hidupku untukmu.
Kita patut berbakti pada orang tua, tetapi bukan berarti orang tua dan saudara berhak mengambil seluruh hidupmu. Kamu ingin aku sering2 ke sana, kamu sendiri hampir gak pernah nginep di sini kecuali kalau aku minta karena Luna sakit. Asal tau aja ya, ini adalah kebetulan yang hampir selalu kutemui kalau aku menginap di rumahmu lebih dari 2 hari, sepulang dari sana pasti Luna berubah, menjadi kurus, sakit, rewel, dan sejenisnya. Aku nggak mau percaya ini tapi makin kuperhatikan ternyata memang begitu.
Sebenernya aku malu, seolah2 tidak sanggup mengurus anak sendiri. Tapi kenapa kejadiannya tidak sama jika aku cuti seminggu di rumah sini mengurus Luna tiap hari, Luna tetap seperti biasanya, tidak menjadi kurus, gembira, makannya banyak walau susah. Aku memang tahu sebabnya, yaitu aku nggak pernah gembira di sana. Dan penyebabnya lagi, karena aku merasa nggak punya privasi di sana. Di rumah rame2 dengan banyak gangguan gitu mana aku betah.
Kamu gak berhak atur2 aku supaya betah di sana, kamu nggak pernah nginep di sini aja aku nggak pernah komplain walaupun aku sangat nggak suka tindakanmu. Kemarin aku lihat transferan ke rekening kakakmu. Aku tahu itu pinjaman dan nantinya dikembalikan. Tapi aku nggak suka. Biarpun itu uangmu, kamu yg cari, tapi aku berhak tau tentang itu. Kamu kan udah janji kepada leluhurku waktu menikah dahulu bahwa aku adalah tanggunganmu.
Asal tau saja ya, sampai sekarang kebutuhan pribadiku murni berasal dari nafkahku sendiri. Aku nggak pernah minta2 kamu. Aku maunya kamu sadar dari dirimu sendiri bahwa kamu berkewajiban memberiku nafkah, walaupun aku gak minta. Semua yang kamu beri aku gunakan untuk keperluan Luna, termasuk kugunakan untuk tabungan sekolahnya kelak.
Kalau kamu cuma bisa menyisihkan sejumlah nilai untuk keperluan pendidikan Luna, yang aku tabungkan untuk dia 3x lipat dari yang kamu sisihkan, walaupun itu semua berasal dari pemberianmu juga. Bahkan waktu mamaku meminta adikku memberiku uang saku bulanan buat nambah2in pemasukan, aku menolak. Aku merasa masih mampu untuk menghidupi diriku sendiri walau aku masih numpang di sini, dan sedikit banyak masih ada bantuan dari orang tua. Tapi paling tidak aku berusaha membantu dengan membayar listrik, telepon, jasa ART.
Karena kuasa ISHW saja sejauh ini aku masih bisa menghidupi diriku sendiri, termasuk membayar uang kuliah. Mudah2an aku terus diberi kekuatan olehNya untuk terus berusaha.
* Makanya... aku nggak akan pernah bisa jadi IRT murni, karena aku nggak mau tergantung sama orang lain. Aku bisa mencari nafkah sendiri aja masih diperlakukan begitu apalagi kalo aku tergantung 100% sama suami, mungkin malah dipandang sebelah mata.
Gak kerasa, akhir2 ini gue banyak mendengar berita bahagia tentang beberapa teman dan saudara2 gue yang sedang hamil anak ke 2 atau kelahiran anak ke 2. Beberapa diantara mereka nikah belakangan setelah gue. Alias anak pertama belum setahun dah hamil lagi. Kayak bertubi2 gitu. Misalnya sepupu gue, anaknya baru umur setahun dia dah hamil 3 bulan. Pokoknya banyak deh.
Luna akan berumur 2 tahun bulan Juli nanti. Kalo misalnya gue hamil sekarang ini, berarti dia umur 2,5 tahun akan punya adik. Tapi yang jelas, sampai sekarang gue belum hamil, dan tidak pake KB apapun.
Apakah gue mau punya anak lagi? Jelas mau. Kapan? Nah itu dia yg gue gak tau jawabannya. Gue gak tau kapan akan memberi Luna adik. Prioritas gue sekarang menyelesaikan kuliah gue dulu, yang mudah2an kelar sebelum Luna sekolah PG. Setelah itu, liat2 lagi. Karena gue gak KB dengan alat/obat, gue KB alami aja, pake kalender masa subur.
Terus terang gue belum terpikir buat punya anak lagi dalam jangka waktu dekat. Bayangan gue adalah sewaktu Luna dah SD nanti mungkin baru gue nambah anak. Pokoknya jaraknya 5 tahunan. Gue masih terbayang2 dengan pengalaman pasca melahirkan Luna yang sangat memilukan.
Baca blognya Kurnia di sini... hmm, jadi teringat dengan pengalaman diriku. Cerita seputar hubungan mertua-menantu-ipar.
Setelah 2 bulan keukeuh2an gak teguran (dan gue cukup kuat di sini, dasar keras kepala emang) akhirnya papa Luna mengalah dengan datang ke rumah ortu gue di bulan Desember, jelang liburan Natal. Memang gue bertekad, selama dia gak datang ke rumah ini, gue gak akan mau jawab semua sms. Telepon msh gue jawab dg kalimat pendek dan tertutup semua. Jangan tanya bagaimana perasaan gue selama 2 bulan itu, campur aduk luar biasa.
Kenapa semua itu terjadi, hanya gara2 persoalan sepele saja. Benar2 sepele. Yang mana papanya Luna ngerembet ngoceh soal adat, agama, dll yg bikin gue ngamuk setengah mati dan ogah balas2 sms dia. Yang gue tangkap adalah istri mesti hormat dan patuh sama suami dan keluarga, tapi hal sebaliknya tidak wajib dilakukan suami. Padahal dia tau persis pola relation cowok-cewek bagaimana di mata gw sewaktu pacaran dulu, harus seimbang dan bertanggung jawab satu sama lain.
Sekarang semua sudah berlalu. Hubungan (komunikasi) kami membaik, walaupun masalah besar belum selesai. Dia masih belum mau nginep di sini, kecuali buat antar Luna ke dokter saja. Sedangkan gue cukup sering nginep di sana, hampir tiap akhir pekan. Tapi sekarang udah gak bisa lagi krn ternyata jadwal kuliah semester sekarang bener2 seharian dari pagi sampai malam. Kecuali alasan khusus, gue nggak nginep di sana di weekend.
Setelah gue memilah2 kenapa gue begitu gak betahnya di sana ya? Untuk tinggal di rumah depok? Perlahan2 gue menemukan jawabannya. Mungkin yang utama adalah kalo di sana bisa dibilang gue nggak punya privasi. Mau papanya Luna bilang 1000% privasi terjaga, itu kan kata dia. Sedang gue sendiri sebagai pendatang, bisa dikata orang asing yang baru jadi anggota keluarga, merasakan kebalikannya. Yang mana makin menjadi2 setelah gue punya anak.
Sejujurnya gue merasa, keluarga mertua terlalu mencampuri especially MIL. Dan gue nggak suka ini (YANG BACA INI DAN MERASA, KALO MAU MARAH SILAKAN SAJA, TAPI GUE CUMA NULIS APA YG GUE RASAKAN). Pertama waktu habis melahirkan gue harus tinggal di sana, tidak boleh di rmh ortu gue selama 42 hari. Tapi kalo nginep di rumah Luna boleh (gue gak mau pake istilah rumah gw krn itu bukan rumah gue). Alasannya kata pedanda. Itu kan curang namanya. Dan hal ini dg sukses gue gagalkan dg perginya gw dari sana di umur Luna yg masih 23 hari, nekat naik angkot ke jalan raya bawa bayi merah dan 3 tas besar plus 1 tas kecil utk mencegat taksi pulang ke ciledug.
Hari ke 2 gue pulang dari RS gue meminta MIL spy tinggal di rmh ortu. Soalnya di sini banyak hal yg bikin gw emosi jiwa dan merana, apalagi gw baru bersalin caesar pula, msh berasa bgt sakitnya. Mlm sebelumnya gw bener2 kurang tidur begadang krn Luna rewel haus tp blm bisa menyusu. Yang mana MIL langsung emosi dan ngomong gak karuan (yg bikin ortu gw tersinggung). MIL emang gw lihat mudah emosi. Dan gw sedih setengah mati knp MIL gak memahami perasaan gw, pdhal sama2 perempuan.
Kedua, soal potong rambut Luna. Yg motong rambut omanya, gue juga gak ditanya dulu. Alasan oma, kasian Luna garuk2 mulu, drpd luka mending dipotong, dirapihin biar gak kepanjangan. Padahal gw rencana gundulin Luna pas abis 3 bulanan. Tapi katanya gak boleh, sesudah 7 bulan. Yah, udah dipotong, mo digimanain lagi? Nah gara2 ini gw ditegur MIL. Gw bilang sih diomelin sebab ngomongnya bernada minor gitu. Dan lagi2 mslh adat dibawa2. Sblmnya gw dah konsultasi ke bokap bgm adat potong rambut sblm 7 bln dan kata bokap gpp ya udah. Ini mengakibatkan gw mogok ke depok 2 bulan...
Berikutnya, wkt acara nikahan kk ipar, gw kembali beristegang dg papanya Luna. Besoknya gw ditanya2 oleh MIL... blabla... gw ga jwb sama sekali krn gw kuatir kalo gw menjawab, walau fakta, MIL bisa kumat sakitnya. Tapi untung FIL sangat bijaksana, beliau berkepala dingin, dan apa yg ditanyakan oleh MIL gw jelaskan ke FIL. Yang mana pertanyaannya antara lain knp gw gak mau tinggal di depok.
Terakhir... 2 minggu lalu saat Luna menangis keras siang2 kebangun krn bunyi jeblak pintu (heran juga knp semua org di sana kalo nutup pintu gak bisa pelan). Gw berusaha tenangkan tp tangis Luna makin keras. FIL dan MIL lgsg datang. Di situ gw merasakan bgt kalo intervensi ini memang nyata ada. Gw nggak mau menyerahkan Luna dari gendongan krn gw ingin menenangkannya. Gw kan ibunya. Apa kata MIL? Dia mungkin tersinggung dan berkata2 aneh lagi. Untungnya malam itu gw balik lagi ke ciledug. Tapi jujur aja gw gak terima dg kata2nya.
Itu baru dari sisi MIL. Belum lagi dari sisi ipar dan keponakan. Ipar gw sih baik semua. Ipar cw punya anak dan jg tinggal di situ. Nah si anak ini, mnrt gw, cukup sering membuat gw emosi tingkat tinggi. Balita ini gw lihat terbiasa dimanja di keluarga dan akibatnya suka berbuat seenaknya. Apapun keinginannya harus dipenuhi. Dan si ponakan lengket bgt sama papanya Luna. Awal2 kelahiran Luna dia maunya deket2 Luna mulu, tp berisik bgt, yg bikin Luna bolak balik bangun. Blm lg sakit tp msh mau deket2 yg bikin Luna ikut ketularan sakit. Terus terang aja sampe sekarang gw gak rela dia deketin Luna, walaupun mrk sepupuan.
Dan gw bersyukur Luna dibesarkan tidak bersama dia. Gw gak mau ntar Luna ketularan gak bisa diatur (sorry to say...). Pernah papanya Luna blg anggap aja anak pertama. Kalo dia bilang lagi, mgkn dg judes akan gw nyautin bhw anak gw cuma 1, Karuna Gayatri. Sbnrnya gak enak juga sama ipar, dia juga kyknya berusaha biar anaknya gak berulah. Tp namanya dah kebiasaan ya susah... keselnya dia suka naik2 kasur, baik di depok dan di ciledug kalo lg ikut jemput kami utk ke depok, pdhal kakinya kotor. Dulu wkt di RS dia ikut2 duduk di tempat tidur gw sambil makan snack yg banyak remahnya, jadinya remah2 itu jatuh ke tempat tidur pdhal gw gak betah kotor... duh duh duh...
Dan masih banyak lagi sebab lainnya. Apakah gw pernah komplain ke suami? Gw sadar betul posisi gw yg kalo gw rasakan selama ini, derajat gw bisa dibilang urutan kesekian dr keluarganya itu. Jadi andaikata gw komplain pun, pasti suami akan bela mereka habis2an mo salah kek apalagi betul. Nyatanya aja dia lebih seneng bersama keluarganya DIBANDING sama anaknya. Gw disuruh ngalah, yang lagi2 bawa agama. Gue benci bgt, seolah agama dibenarkan menindas perempuan, istri dan menantu, kayak di India sono.
Dan yang masih gw inget2 sampai sekarang, yg makin menguatkan ini adalah kata2 berikut
"Ini acara kawinan abangnya Nyoco!" diucapkan dengan nada tinggi.
"Tinggal bilang aja kenapa sih, kan saudara!"
Apakah gw yg terlalu sensi atau bukan, tp makin menguatkan perasaan gue. Padahal gw berusaha membaur sebaik mungkin.
Dan yang paling parah adalah ketika gw tulis status di FB bahwa gw akan weekend di dpk, semoga Luna mau makan sama mamanya TANPA intervensi dari pihak manapun. Eh... ipar menulis di status itu begini : OKE DEH kalo begitu. Pdhal gw gak nyebutin spesifik yg intervensi itu dia.
Sekarang gue hanya bisa memohon dan melihat secara cermat, bahwa Tuhan tidak tidur. Pasti Dia lebih tahu perasaan gw dan apa harapan gw ke depannya.