Selasa, 15 Desember 2009

Adat yang patrilineal

Sebagai orang yang dibesarkan oleh orang tua (bokap) berdarah Bali, tentunya gue juga dididik sesuai dengan adat yang kami pegang. Walau gue (kalo istilah di Harry Potter) berdarah campuran dari pihak nyokap. Dari kecil gue lahir, tinggal dan besar di Jakarta (dan Ciledug, bukan Tangerang. Ciledug itu kan Jakarta bukan, Tangerang nggak niat).

Jadi tentang adat istiadat, gue gak terlalu kental mendalami. Tapi tentu saja kami diajarkan untuk hal2 yang basic. Misalnya bikin banten sehari2 seperti segehan dan canang sari dan juga banten rainan Purnama (daksina) dan banten besar untuk hari raya Nyepi, Galungan, Kuningan, etc. Semua upacara dalam kehidupan manusia dalam agama Hindu juga dilaksanakan bagi gue dan saudara2 gue, seperti 3 bulanan, otonan pertama, potong gigi, dll.

Tapi tentu aja, mungkin karena gue besar di rantau dan nyokap yang bukan orang Bali, gue gak terlalu tau makna atau filosofi dari semua upacara2 dan ritual itu. Padahal gue juga dapat pendidikan agama Hindu dari zaman SD sampai kuliah. Dan keluarga gue pun nggak terlalu saklek banget dalam hal adat. Bagi bokap gue, cukup anak2 mengerti dan memahami apa yang baik dan tidak baik dalam agama.

Ketika gue memutuskan menikah dengan seorang yang berasal dari Bali juga, setelah menjalani pacaran selama 6,5 tahun lamanya, tentunya gue menginginkan suami yang bisa membimbing gue dalam hal adat. Berhubung ada testimoni nyokap tentang bagaimana 'kerasnya' masyarakat adat di Bali, gue agak hati2 dalam hal memilih pendamping hidup.


Gue beranggapan suami gue, yang juga lahir dan besar di Jakarta, memiliki pandangan yang sama, setidaknya mendekati, dengan pandangan keluarga gue yang bagi gue cukup moderat. Itulah yang membuat gue memilihnya. Dia orang Bali yang lahir di Jakarta dan tidak dibesarkan di Bali, yang tumbuh di lingkungan yang heterogen di Jakarta, namun keluarganya tetap memegang pakem adat, yang gue harap, sekali lagi, berwawasan modern dan moderat. Gue ingin belajar bagaimana menjadi orang Bali yang seutuhnya namun tetap dinamis. Memang bagi orang Bali masyarakat adat dan keluarga itu penting banget.

Sesuai adat Bali, perempuan yang sudah menikah akan ikut dengan keluarga suaminya. Karena di awal2 pernikahan gue dan suami belum punya rumah (rumah sedang dibangun) maka gue dan suami tinggal pindah2 dari rumah ortu gue ke rumah ortu dia. Terus terang aja gue gak bisa sama sekali bayangin kalo gue harus terus menerus tinggal di rumah mertua (no offense, kalo papa baca ini). Bagaimanapun lebih enak tinggal di rumah sendiri (juga rumah ortu sendiri) daripada tinggal di rumah mertua (SIAPA YANG GAK SETUJU KALIMAT INI, TUNJUK TANGAN!).


Tentu saja gue harus menyesuaikan diri dengan kebiasaan di rumah ortu suami. Untung gue orangnya termasuk orang yang gampang menyesuaikan diri, meski sedikit aneh, tapi bagi gue it's fine. Walau jujur saja (dan kita semua pasti juga merasakan) ada beberapa kebiasaan yang 'enggak banget' di mata gue (gak perlu gue perjelas ya).


Gue juga menjalani kehamilan dengan berpindah2 rumah ini. Sedikit capek, tapi yang gue senangi dari daerah Depok rumah mertua gue ini adalah deket dg stasiun KA! Seneng banget deh, jam 4 teng kabur dari kantor, jam 4.30 naik kereta, jam 5an dah sampe Depok Baru. Beda banget sama waktu pulang ke rumah ortu gue.


Ketika gue habis melahirkan harus pulang ke rumah mertua atas nama adat (karena ari2 Luna ditanam di sana) tentu saja gue berontak. Hal ini gak pernah terpikir di otak gue karena gue dibiasakan lebih mendahulukan keselamatan dan kesehatan dibanding yang lain. Adat mestinya gak sekaku ini. (See my blog here, here and here). Sayangnya (IMHO) papa terlalu kaku dalam hal adat, yang menurut gue dimengerti secara salah. Belum lagi my mom in law yang juga turut 'menasihati' (note that I use quote mark here, hehe, so you know what I mean). Bener2 tidak tahan!


Gimana akhirnya gue gagal ASIX, mendapati diri gue yang nyaris depresi (karena ketidaksiapan mempunyai anak? Mungkin yang benar ketidaksiapan menghadapi bagaimana rasanya baru punya bayi yang siang tidur gak nyenyak malam melek maunya digendong while no help at all from my in law). Saat itu bener2 gue sangat rindu untuk kembali ke rumah orang tua, karena yang ada di bayangan gue adalah, ortu gue akan bersedia begadang ikut menggendong Luna sementara gue bisa tidur memulihkan stamina yang baru melahirkan secara SC).


Perbedaan ini masih terjadi sampai sekarang. Gue dengan sudut pandangku sendiri dan papa dengan sudut pandangnya sendiri juga. Maka kembali mengingat status yang beberapa hari lalu gue tulis di FB gue :Mengalah untuk hal yang baik oke, tapi kalo mengalah malah mengakibatkan hal2 yang tidak diinginkan, NO WAY!


Maka, gue bersyukur sekali ortuku mendidikku untuk melakukan apapun perhatikan kepentingan yang lebih besar (dalam hal ini anak). Jadi, memang gue terus terang saja memprioritaskan Luna ketimbang papanya. Katakan gue egois, tapi yang gue lakukan sudah dipikirkan dengan pertimbangan. Bahwa gue menitipkan anak gue di ortu gue dengan resiko tinggal terpisah dari papanya ketimbang tinggal di rumah kami, berkumpul bersama, tapi di siang hari anak sama ART.

2 komentar:

  1. pst berat ya jeng harus memilih antara 2 orang yg sama2 km sayang. teorinya pst km pgn semua sejalan, tapi pada prakteknya ternyata gk semudah itu..
    ttp sabar,, ttp semangat,, yg terbaik utk kalian sekeluarga *hughssssssssss*

    BalasHapus