Your home, my home?

Di saat pasangan lain memimpikan tinggal di rumah sendiri, karena sekarang masih ngontrak/tinggal di PMI/POI, saya justru masih tinggal bareng orang tua saya. Padahal kami sudah memiliki rumah (lebih tepat diberi, menurutku tetap diberi walaupun suami berpendapat itu miliknya). Darimana asal rumah itu? Mertua memiliki sebidang tanah, yang lantas dibangun rumah untuk kelak kami tempati kalau sudah menikah. Menurut suami pembangunan rumah itu menggunakan dana miliknya. Saya nggak tau karena memang nggak tahu menahu. Jadilah suami telah memiliki rumah, tetapi tidak ditempati karena saya masih tinggal di rumah orang tua saya.

Terus terang, bahkan sampai sekarang, saya tidak pernah merasa memiliki rumah. Itu adalah rumah suami, dan kalo mau dipaksakan, itu adalah rumahnya Luna. Kenapa saya tidak bisa merasa memiliki rumah itu, karena dari awal saya tidak terlibat dalam pembangunannya, sampai tahap finishingnya dan upacara melaspasnya. Semua yang berurusan dengan pembangunan rumah itu adalah suami dengan orang tuanya. Bagaimanapun asalnya adalah dari mertua. Bukan hasil keringat kami berdua. Jadi nggak salah kan kalau saya merasa demikian.

Letak rumah kebetulan berdekatan dengan rumah mertua (rumah induk). Hanya sekitar 500 m. Karena rencananya (rencana suami) setelah menikah kami akan tinggal di sana, maka kalau kami punya anak selama saya bekerja anak akan dititipkan di rumah induk. Kebetulan kami cepat dikaruniai anak.

Setelah saya untuk sementara tinggal berganti2an antara rumah ortu dan rumah mertua, saya tentu mengamati kekurangan dan kelebihan bagaimana kalau saya menitipkan anak di masing2 tempat. Sampai akhirnya saya memutuskan untuk menitipkan anak di orang tua saya, tentu ada pertimbangannya.

Pertimbangan utama adalah, kondisi ibu mertua saya yang menurut saya tidak memungkinkan untuk ketambahan titipan anak. Kondisi fisik beliau yang tidak prima, bisa dibilang tidak terlalu sehat dibanding mama saya sendiri (beliau sering dirawat di RS sebelum saya menikah, dan sampai sekarang rutin minum obat medis dari dokter). Kasihan kalau harus dititipi anak lagi, pasti bagaimanapun membutuhkan tenaga yang tidak sedikit untuk berkonsentrasi merawat anak. Padahal saya nggak begitu percaya dengan BS atau ART. Jadi saya ingin Karuna ditangani dengan prioritas utama, jika ada ART/BS tugasnya cuma membantu. Apalagi masih newborn.

Pertimbangan kedua, mertua sudah ada asuhan 1 cucu, anak kakak ipar, berumur balita (waktu itu 4 tahun). Sudah sekolah. Karena anak tunggal dan cucu pertama, wow... menurutku agak terlalu 'longgar' disiplinnya, terbiasa jadi raja kecil. Saya jadi ingat waktu Karuna bayi digendong oleh neneknya, si sepupu ngambek, dan dia mengambil suatu benda (lupa benda apa, yg jelas benda keras) dilempar ke arah neneknya dan hampir mengenai Luna! Waduh! Kejadian gini gak bakal mungkin dilakukan cucu ortu gue (ngelempar barang ke orang tua, bahkan waktu msh belum bisa bicara sekalipun). Seperti ada yg salah dengan pola pengasuhan cucu oleh mertua.

Pertimbangan ketiga, tidak ada asisten. Asisten gak ada yg kerjanya lebih dari 1 bulan (selama gue tinggal di sana lho), setelah itu pasti keluar. Pdhal gak ada apa2. Baik 2 ART maupun sendiri. Dan kayaknya mertua juga gak terlalu nyari ART banget.

Jadilah saya tetep tinggal di rumah orang tua karena keperluan penitipan Karuna selama saya bekerja. Dan suami tetap tinggal di rumah orang tuanya... Kedengeran aneh, yang sampai sekarang saya juga nggak tau kenapa sebabnya. Apakah dilarang???? Padahal sudah ditawarkan opsi, kalo risih tinggal di rumah ortu saya, gpp nyari kontrakan yg deket rumah ortu, asal selama saya kerja Karuna dititip di ortu saya. Tetep nggak mau. Ya sudah. Apakah saya mesti memaksakan diri tinggal di rumah sendiri biar berkumpul bersama2? Dengan mengorbankan kesejahteraan Karuna? Sepertinya tidak. Maka dengan resiko kuambil jalan ini. Mudah2an Luna memahami kenapa cuma ada mamanya di sampingnya dan jarang2 ketemu papanya.